Minggu, 28 Juni 2009
Senin, 01 Juni 2009
sambungan Jalan Mulia Berunsur Delapan
1.1.2. Pikiran Benar
Pikiran benar adalah; pikiran yang bebas dari napsu indera, kemauan buruk, kekejaman yang di wujudkan dalam suatu bentuk cinta kasih dan perlindungan terhadap semua makhluk. Pikiran benar ini akan membebaskan diri dari rasa mementingkan diri sendiri. Secara teoritis cukup sederhana dan sangat mudah di pahami, namun begitu menerapkan kedalam praktek, akan terasa jauh dan sulit.
Kita boleh saja mengatakan ‘tahu’ sesuatu, tetapi sesungguhnya kita hanya mengetahui dengan akal, dengan bagian rasional dari kita. Kita mengetahui secara teoritis, intelek, dan abstrak.
Ada bagian dari manusia yang lebih besar tidak diperdulikan, namun sabgat penting dari akal sehat, yaitu: naluri, emosi, kehendak, alam bawah sadar. Emosi lebih kuat dari akal. Peranan emosi ini sangat penting apa bila kita ingin menerapkan prkatek yang kita tahu sebagai kebenaran. Disini jelas bahwa bagi kebanyakan orang bahwa masalah pokok dalam kehidupan spiritual adalah bagaimana menyetarakan emosi dengan pengertian intelektual. Sebelum melakukan itu, kita tidak mungkin mencapai suatu kemajuan dalam kehidupan spiritual.
Pikiran benar berupa kemauan sempurna atau emosi yang integral (menyeluruh) dan merepresentasikan pengikutan seluruh emosi dan kehendak kedalam suatu harmoni dengan pandangan benar, tentang hakikat keberadaan.
Pikiran benar merupakan unsure pertama dari tujuh jalan transformasi, yang merepresentasikan transformasikeadaan emosi sejalan dengan pandangan benar. Pikiran benar menjembatani pandangan benar dengan keenam unsure lainnya dari Sang jalan, karena kita tidak dapat mempraktekkan ucapan benar, perbuatan benar dan seterusnya, sebelum kita mengubah emosi atau pikiran kita yang mendorong praktek selanjutnya dari Sang jalan. Oleh karena itu emosi dan pikiran merupakan pusatnya kehidupan spiritual. Secara sederhana, tidak ada kehidupan spiritual yang sesungguhnya sebelum hati juga diikutsertakan.
Pikiran kita hanya dapat diubah seluruhya oleh pandangan benar, yang merupakan pengalaman spiritual atau pencerahan batin, bukan oleh kekuatan intelektual, atau pembuktian rasional. Pikiran benar (sempurna) merupakan pandangan benar mengalir kedalam keadaan emosi kita dan mengubahnya secara total. Oleh karena hal ini bila kita kaitkan dengan pelaku tindak kejahatan, bahwa penjara bukanlah satu-satunya tempat penyembuhan bagi pelaku kekahatan. Tetapi penempaan dan penyuluhan untuk mengubah pola pandangan dan pola pikir dari mental penjahat kedalam pandangan yang benar sehingga akan terbentuk pola pikir yang benar dan sehat yang mendorong kehendak ucapan, perbuatan dan mata pencaharian yang benar. Selama pelaku kejahatan masih kambuh, maka sebenarnya ajaran spiritual itu belum bisa ditransformasikan kedalam kehidupan para kambuhan.
Pikiran benar mempunyai sudut pandang positip dan sudut pandang negatif. Sudut pandang ini adalah; Nekkhama, avyapada, dan avihimsa.
(a) Nekkhama atau Tanpa Keserakahan
Nekkhamma adalah tanpa keserakahan, keterikatan atau melepaskan. Sebagai konsekuensi dari pandangan terhadap hakekat sesuatu yang berkondisi, maka berkurangnya napsu keinginan dalam diri kita. Karena kemelekatanlah yang mendasari kondisi mental yang, yang seyoyanya harus menengok kedalam diri. Apa yang sudah dilepaskan. Minimal kita puas dengan sesuatu yang cukup satu saja. Misalnya satu mobil saja.
(b) Avyapada atau tanpa kebencian
Vyapada artinya ‘berbuat jahat’ dan karena juga ‘membenci’ kebencian dalam bentuknya yang beraneka ragam, adalah napsu keinginan yang tidak terpenuhi. Orang tidak hanya menginginkan materi, tetapi juga kesuksesan, pengakuan, pujian, dan kasih saying. Ketika hal ini tidak diperoleh, apalagi jika dalam waktu yang lama, maka akan muncul perasaan frustasi. Pada sementara orang keadaan itu menimbulkan kebencian yang terpendam, gemar mencari-cari kesalahan orang lain, mengkritik, mengomel, dan mendaftar kejelekan orang lain. Dengan berkuarangnya napsu keinginan, dan mengendurkan genggaman kita pada benda-benda materi, kebencianpun berkurang, kemungkinan frustasi secara bertahap telah dikurangi.
(c) Avihimsa atau Tanpa Kekajaman.
Himsa berarti ‘kekerasan atau kekejaman’ sedangkan vihimsa adalah ‘dengan sengaja menyebabkan kesakitan atau penderitaan’ hubungannya dengan kebencian sangat erat, tetapi lebih buruk daripada kebencian, karena mengharapkan atau atau menyebabkan kesakitan atau merasa senang bila melihat makhluk lain menderita.
Dengan demikian sebagai manusia yang beragama, hendaknya kita bertanya pada diri sendiri, sudahkah sifat jahat saya berkurang? Sifat jahat itu tidak hanya bersifat fisik tetapi juga termasuk kata-kata keras, kasar, tidak ramah, dan sarkastis tanpa menyadari bahwa itu juga termasuk satu bentuk kekejaman.
Sudut pandangan positip dari pikiran benar.
Aspek positip dari pikiran benar terdiri atas sejumlah sifat positip yang dikembangkan berkebalikan dengan sifat negatif dari keterikatan, kebencian, dan kekejaman, dikenal dengan istilah, Dana, metta, karuna, simpati, dan upekkha ini secara keseluruhan membentuk Brahma-Vihara atau Keadaan Pikiran Luhur.
(a) dana atau pemberian
memberikan sebagian apa yang kita miliki kepada yang membutuhkan. Perasaan ingin memberi dan berbagi, merupakan wujud awal dari kehidupan spiritual – tanda awal yang menunjukkan kemelekatan dan keserakahan telah berkurang ke tingkat tertentu.
Ada beberapa macam bentuk dana antara lain:
(i) dana materi, berbagi benda-benda yang bermanfaat misalnya, makanan, pakaian dll.
(ii) dana waktu, energi, dan pikiran.
Waktu merupakan sesuatu yang berharga, sehingga bila kita menyisihkannya sebagian untuk orang lain, untuk menolong mereka, juga merupakan suatu bentuk dana.
(iv) dana pengetahuan atau pendidikan
dana pengetahuan atau pendidikan selalu dianggap sangat luhur di negara-negara Buddhis. Kesempatan mendapatkan kependidikan ini harus bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat. Bahkan kita harus menaruh perhatian kepada mereka yang tidak mendapatkan kesempatan pendidikan, karena hal-hal tertentu, sehingga tidak ada kesan bahwa kesempatan pendidikan yang hanya didominisai oleh oaring-orang tertentu.
(v) Dana perlindungan dari rasa takut.
Minimal kita harus membuat orang lain yakin dan percaya diri, bahwa kita tidak membahayakan bagi orang lain. Sehingga orang bebas rasa takut, atau perasaan aman dengan kehadiran kita.
(vi) Dana memberikan Nyawa atau anggota tubuh.
Demi kepantingan orang lain atau Dhamma seseorang harus siap untuk mengorbankan tubuhnya bahkan nyawanya sendiri.
(b) Metta : Cinta kasih kepada semua makhluk
(c) Karuna : belas kasih kepada semua maklhuk yang menderita
(d) Simpati : merasakan penderitaan dan kebahagiaan orang lain
(e) Upekkha : batin yang tenang
(f) Srada, keyakinan dan pengabdian
Kopmonitas spiritual bisa kita katakana bukan komonitas spiritual yang sesungguhnya tidak mengembangkan dan menemukan kemudahan untuk mengembangkan pikiran positif seperti cinta kasih, belas kasih, kebaikan hati, ketenangan, keyakinan, dan bhakti. Untuk kepentingan pengembangan pikiran dan untuk transformasi keadan pikiran itulah komonitas spiritual diperlukan.
1.2. Kemoralan (sila)
1.2.1. ucapan benar
Ucapan benar adalah ucapan yang memenuhi 4 syarat yaitu: benar, beralasan,bermanfaat, dan tepat waktunya. Ucapan ini mencerminkan tekad menahan diri dari bohong, percakapan-percakapan yang tidak bermanfaat dan fitnah yang bisa menimbulkan permusahan dan perpecahan. Ucapan benar ini juga terdapat dalam sila keempat pancasila Buddhis. Musavada Veramani Sikkhapadam Sammadiyami. ‘saya berjajnji melatih diri menghindari berkata yang tidak benar’ manusia terdiri dari tubuh, ucapan dan pikiran, merupakan ‘Trinitas’ yang saling setara. Ucapan diletakkan pada tempat yang sama pentingnya dengan tubuh dan pikiran.
Dalam teks-teks Buddhis, perkataan sempurna dilukiskan sebagai perkataan yang benar, penuh kasih saying, bermanfaat, dan membawa keharmonisan dan kesatuan. Perkataan sempurna ini sesungguhnya mewakili tingkatan ucapan yang berbeda, yang mana masing-masing tingkat lebih dalam dari tingkat sebelumnya.
(1) Tingkat ketulusan
Yang pertama dari komonikasi ideal adalah ketulusan dan kebenaran. Menurt Dr. Johson disebut dengan ‘ketepatan penyampaian berita’ karena hanya sedikit orang yang melaksanakan ketepatan penyampaian berita. Misalnya bila kita melihat berita kegiatan social yang dihadairi ratusan orang, tetapi di sampaikan dihadiri ribuan orang. Ini menunjukkan ketidak jujuran dalam arti tidak sesuai dengan fakta. Jika memang hari ini indah seharunya kita mengatakan indah, karena ketulusan itu psikologis dan spiritual. Karena disamping ketepatan menyampaikan berita, mengatakan yang benar juga melibatkan sikap jujur dan tulus, yang menyangkut perkataan yang sesungguhnya kita pikirkan.
(2) Tingkat Penghargaan
Perkataan benar adalah tulus, menghargai dan mencintai. Dengan penuh kesadaran terhadap kehadiran orang itu. Karena kadang kita melihat orang karena reaksi emosional. Misalnya orang yang berlaku sesuai dengan kita, kita akan mengatakan baik, dan sebaliknya. Tetapi sebenarnya sesuai ungkapan, ayah yang bijaksana mengenal anaknya dan sebaliknya. Suami yang bijaksana mengenal istrinya dan sebaliknya. Dan kesimpangsiuran dalam hal berkomonikasi dengan orang lain karena diantara kita tidak benr-benar kenal secara mendalam, sehingga tidak bisa mengasihi antara orang yang satu dengan yang lainnya. Pada umumnya apa yang disebut hubungan itu tiada lain hanyalah rangkaian proyeksi timbal balik, tanpa pengertian dan pengenalan yang timbal balik dan kasih saying timbal balik pula.
Jika kita menyadari dan saling mengasihi, dan jika kita mampu mengatakan kebenaran orang lain, karena sadar terhadap keberadaan orang lain yang tentu saja berarti menagsihi orang itu, dan menghargai keberadaan mereka, kita akan mengenal apa yang mereka butuhkan. Bukan apa yang kita pikir harus mereka miliki karena menurut kita baik jika memilikinya. Kita tahu apa yang menjadi kebutuhan mereka.
(3) Tingkatan pertolongan
Menurut Buddha kita harus berbicara segala sesuatu yang bermanfaat, dalam arti yang membawa kemajuan, perkembangan spiritual, bagi orang yang kita ajak bicara. Bila kita berbicara negatif, penuh kritik, destruktif, orang lain tidak akan terbantu dan tumbuh. Walaupun kritik sah-sah saja bila terlalu sering, dan begitu gampang mengkritik sehingga mengabaikan sisi yang lebih positif. Jika kita berbicara dengan cara membawa pertumbuhan, yang membawa pengaruh positif dan sehat, kita lebih memperhatikan kebutuhan mereka dari pada kepentingan kita sendiri, jika kita tidak membuat proyeksi dan memperalat mereka, maka hasilnya akan ‘melupaka diri sendiri’ ini membawa kita pada tingkat keempat dan tertinggi perkataan benar.
(4) Tingkat Harmoni, Kesatuan
Perkataan benar adalah perkataan yang membawa harmoni, keselaransan, dan keutuhan. Saling membantu yang didasarkan atas kebenaran, atas kesadaran akan keberadaan orang lain, kebutuhan orang lain untuk menuju keagungan setiap orang, walaupun kita berbeda dalam berbagai hal.
Ketika keselarasan, harmoni, keutuhan, dan pengertian seperti ini menjadi sempurna, tak ada lagi yang perlu diucapkan. Karena pada saat yang sama mencapai puncaknya dalam keheningan.
Pikiran benar adalah; pikiran yang bebas dari napsu indera, kemauan buruk, kekejaman yang di wujudkan dalam suatu bentuk cinta kasih dan perlindungan terhadap semua makhluk. Pikiran benar ini akan membebaskan diri dari rasa mementingkan diri sendiri. Secara teoritis cukup sederhana dan sangat mudah di pahami, namun begitu menerapkan kedalam praktek, akan terasa jauh dan sulit.
Kita boleh saja mengatakan ‘tahu’ sesuatu, tetapi sesungguhnya kita hanya mengetahui dengan akal, dengan bagian rasional dari kita. Kita mengetahui secara teoritis, intelek, dan abstrak.
Ada bagian dari manusia yang lebih besar tidak diperdulikan, namun sabgat penting dari akal sehat, yaitu: naluri, emosi, kehendak, alam bawah sadar. Emosi lebih kuat dari akal. Peranan emosi ini sangat penting apa bila kita ingin menerapkan prkatek yang kita tahu sebagai kebenaran. Disini jelas bahwa bagi kebanyakan orang bahwa masalah pokok dalam kehidupan spiritual adalah bagaimana menyetarakan emosi dengan pengertian intelektual. Sebelum melakukan itu, kita tidak mungkin mencapai suatu kemajuan dalam kehidupan spiritual.
Pikiran benar berupa kemauan sempurna atau emosi yang integral (menyeluruh) dan merepresentasikan pengikutan seluruh emosi dan kehendak kedalam suatu harmoni dengan pandangan benar, tentang hakikat keberadaan.
Pikiran benar merupakan unsure pertama dari tujuh jalan transformasi, yang merepresentasikan transformasikeadaan emosi sejalan dengan pandangan benar. Pikiran benar menjembatani pandangan benar dengan keenam unsure lainnya dari Sang jalan, karena kita tidak dapat mempraktekkan ucapan benar, perbuatan benar dan seterusnya, sebelum kita mengubah emosi atau pikiran kita yang mendorong praktek selanjutnya dari Sang jalan. Oleh karena itu emosi dan pikiran merupakan pusatnya kehidupan spiritual. Secara sederhana, tidak ada kehidupan spiritual yang sesungguhnya sebelum hati juga diikutsertakan.
Pikiran kita hanya dapat diubah seluruhya oleh pandangan benar, yang merupakan pengalaman spiritual atau pencerahan batin, bukan oleh kekuatan intelektual, atau pembuktian rasional. Pikiran benar (sempurna) merupakan pandangan benar mengalir kedalam keadaan emosi kita dan mengubahnya secara total. Oleh karena hal ini bila kita kaitkan dengan pelaku tindak kejahatan, bahwa penjara bukanlah satu-satunya tempat penyembuhan bagi pelaku kekahatan. Tetapi penempaan dan penyuluhan untuk mengubah pola pandangan dan pola pikir dari mental penjahat kedalam pandangan yang benar sehingga akan terbentuk pola pikir yang benar dan sehat yang mendorong kehendak ucapan, perbuatan dan mata pencaharian yang benar. Selama pelaku kejahatan masih kambuh, maka sebenarnya ajaran spiritual itu belum bisa ditransformasikan kedalam kehidupan para kambuhan.
Pikiran benar mempunyai sudut pandang positip dan sudut pandang negatif. Sudut pandang ini adalah; Nekkhama, avyapada, dan avihimsa.
(a) Nekkhama atau Tanpa Keserakahan
Nekkhamma adalah tanpa keserakahan, keterikatan atau melepaskan. Sebagai konsekuensi dari pandangan terhadap hakekat sesuatu yang berkondisi, maka berkurangnya napsu keinginan dalam diri kita. Karena kemelekatanlah yang mendasari kondisi mental yang, yang seyoyanya harus menengok kedalam diri. Apa yang sudah dilepaskan. Minimal kita puas dengan sesuatu yang cukup satu saja. Misalnya satu mobil saja.
(b) Avyapada atau tanpa kebencian
Vyapada artinya ‘berbuat jahat’ dan karena juga ‘membenci’ kebencian dalam bentuknya yang beraneka ragam, adalah napsu keinginan yang tidak terpenuhi. Orang tidak hanya menginginkan materi, tetapi juga kesuksesan, pengakuan, pujian, dan kasih saying. Ketika hal ini tidak diperoleh, apalagi jika dalam waktu yang lama, maka akan muncul perasaan frustasi. Pada sementara orang keadaan itu menimbulkan kebencian yang terpendam, gemar mencari-cari kesalahan orang lain, mengkritik, mengomel, dan mendaftar kejelekan orang lain. Dengan berkuarangnya napsu keinginan, dan mengendurkan genggaman kita pada benda-benda materi, kebencianpun berkurang, kemungkinan frustasi secara bertahap telah dikurangi.
(c) Avihimsa atau Tanpa Kekajaman.
Himsa berarti ‘kekerasan atau kekejaman’ sedangkan vihimsa adalah ‘dengan sengaja menyebabkan kesakitan atau penderitaan’ hubungannya dengan kebencian sangat erat, tetapi lebih buruk daripada kebencian, karena mengharapkan atau atau menyebabkan kesakitan atau merasa senang bila melihat makhluk lain menderita.
Dengan demikian sebagai manusia yang beragama, hendaknya kita bertanya pada diri sendiri, sudahkah sifat jahat saya berkurang? Sifat jahat itu tidak hanya bersifat fisik tetapi juga termasuk kata-kata keras, kasar, tidak ramah, dan sarkastis tanpa menyadari bahwa itu juga termasuk satu bentuk kekejaman.
Sudut pandangan positip dari pikiran benar.
Aspek positip dari pikiran benar terdiri atas sejumlah sifat positip yang dikembangkan berkebalikan dengan sifat negatif dari keterikatan, kebencian, dan kekejaman, dikenal dengan istilah, Dana, metta, karuna, simpati, dan upekkha ini secara keseluruhan membentuk Brahma-Vihara atau Keadaan Pikiran Luhur.
(a) dana atau pemberian
memberikan sebagian apa yang kita miliki kepada yang membutuhkan. Perasaan ingin memberi dan berbagi, merupakan wujud awal dari kehidupan spiritual – tanda awal yang menunjukkan kemelekatan dan keserakahan telah berkurang ke tingkat tertentu.
Ada beberapa macam bentuk dana antara lain:
(i) dana materi, berbagi benda-benda yang bermanfaat misalnya, makanan, pakaian dll.
(ii) dana waktu, energi, dan pikiran.
Waktu merupakan sesuatu yang berharga, sehingga bila kita menyisihkannya sebagian untuk orang lain, untuk menolong mereka, juga merupakan suatu bentuk dana.
(iv) dana pengetahuan atau pendidikan
dana pengetahuan atau pendidikan selalu dianggap sangat luhur di negara-negara Buddhis. Kesempatan mendapatkan kependidikan ini harus bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat. Bahkan kita harus menaruh perhatian kepada mereka yang tidak mendapatkan kesempatan pendidikan, karena hal-hal tertentu, sehingga tidak ada kesan bahwa kesempatan pendidikan yang hanya didominisai oleh oaring-orang tertentu.
(v) Dana perlindungan dari rasa takut.
Minimal kita harus membuat orang lain yakin dan percaya diri, bahwa kita tidak membahayakan bagi orang lain. Sehingga orang bebas rasa takut, atau perasaan aman dengan kehadiran kita.
(vi) Dana memberikan Nyawa atau anggota tubuh.
Demi kepantingan orang lain atau Dhamma seseorang harus siap untuk mengorbankan tubuhnya bahkan nyawanya sendiri.
(b) Metta : Cinta kasih kepada semua makhluk
(c) Karuna : belas kasih kepada semua maklhuk yang menderita
(d) Simpati : merasakan penderitaan dan kebahagiaan orang lain
(e) Upekkha : batin yang tenang
(f) Srada, keyakinan dan pengabdian
Kopmonitas spiritual bisa kita katakana bukan komonitas spiritual yang sesungguhnya tidak mengembangkan dan menemukan kemudahan untuk mengembangkan pikiran positif seperti cinta kasih, belas kasih, kebaikan hati, ketenangan, keyakinan, dan bhakti. Untuk kepentingan pengembangan pikiran dan untuk transformasi keadan pikiran itulah komonitas spiritual diperlukan.
1.2. Kemoralan (sila)
1.2.1. ucapan benar
Ucapan benar adalah ucapan yang memenuhi 4 syarat yaitu: benar, beralasan,bermanfaat, dan tepat waktunya. Ucapan ini mencerminkan tekad menahan diri dari bohong, percakapan-percakapan yang tidak bermanfaat dan fitnah yang bisa menimbulkan permusahan dan perpecahan. Ucapan benar ini juga terdapat dalam sila keempat pancasila Buddhis. Musavada Veramani Sikkhapadam Sammadiyami. ‘saya berjajnji melatih diri menghindari berkata yang tidak benar’ manusia terdiri dari tubuh, ucapan dan pikiran, merupakan ‘Trinitas’ yang saling setara. Ucapan diletakkan pada tempat yang sama pentingnya dengan tubuh dan pikiran.
Dalam teks-teks Buddhis, perkataan sempurna dilukiskan sebagai perkataan yang benar, penuh kasih saying, bermanfaat, dan membawa keharmonisan dan kesatuan. Perkataan sempurna ini sesungguhnya mewakili tingkatan ucapan yang berbeda, yang mana masing-masing tingkat lebih dalam dari tingkat sebelumnya.
(1) Tingkat ketulusan
Yang pertama dari komonikasi ideal adalah ketulusan dan kebenaran. Menurt Dr. Johson disebut dengan ‘ketepatan penyampaian berita’ karena hanya sedikit orang yang melaksanakan ketepatan penyampaian berita. Misalnya bila kita melihat berita kegiatan social yang dihadairi ratusan orang, tetapi di sampaikan dihadiri ribuan orang. Ini menunjukkan ketidak jujuran dalam arti tidak sesuai dengan fakta. Jika memang hari ini indah seharunya kita mengatakan indah, karena ketulusan itu psikologis dan spiritual. Karena disamping ketepatan menyampaikan berita, mengatakan yang benar juga melibatkan sikap jujur dan tulus, yang menyangkut perkataan yang sesungguhnya kita pikirkan.
(2) Tingkat Penghargaan
Perkataan benar adalah tulus, menghargai dan mencintai. Dengan penuh kesadaran terhadap kehadiran orang itu. Karena kadang kita melihat orang karena reaksi emosional. Misalnya orang yang berlaku sesuai dengan kita, kita akan mengatakan baik, dan sebaliknya. Tetapi sebenarnya sesuai ungkapan, ayah yang bijaksana mengenal anaknya dan sebaliknya. Suami yang bijaksana mengenal istrinya dan sebaliknya. Dan kesimpangsiuran dalam hal berkomonikasi dengan orang lain karena diantara kita tidak benr-benar kenal secara mendalam, sehingga tidak bisa mengasihi antara orang yang satu dengan yang lainnya. Pada umumnya apa yang disebut hubungan itu tiada lain hanyalah rangkaian proyeksi timbal balik, tanpa pengertian dan pengenalan yang timbal balik dan kasih saying timbal balik pula.
Jika kita menyadari dan saling mengasihi, dan jika kita mampu mengatakan kebenaran orang lain, karena sadar terhadap keberadaan orang lain yang tentu saja berarti menagsihi orang itu, dan menghargai keberadaan mereka, kita akan mengenal apa yang mereka butuhkan. Bukan apa yang kita pikir harus mereka miliki karena menurut kita baik jika memilikinya. Kita tahu apa yang menjadi kebutuhan mereka.
(3) Tingkatan pertolongan
Menurut Buddha kita harus berbicara segala sesuatu yang bermanfaat, dalam arti yang membawa kemajuan, perkembangan spiritual, bagi orang yang kita ajak bicara. Bila kita berbicara negatif, penuh kritik, destruktif, orang lain tidak akan terbantu dan tumbuh. Walaupun kritik sah-sah saja bila terlalu sering, dan begitu gampang mengkritik sehingga mengabaikan sisi yang lebih positif. Jika kita berbicara dengan cara membawa pertumbuhan, yang membawa pengaruh positif dan sehat, kita lebih memperhatikan kebutuhan mereka dari pada kepentingan kita sendiri, jika kita tidak membuat proyeksi dan memperalat mereka, maka hasilnya akan ‘melupaka diri sendiri’ ini membawa kita pada tingkat keempat dan tertinggi perkataan benar.
(4) Tingkat Harmoni, Kesatuan
Perkataan benar adalah perkataan yang membawa harmoni, keselaransan, dan keutuhan. Saling membantu yang didasarkan atas kebenaran, atas kesadaran akan keberadaan orang lain, kebutuhan orang lain untuk menuju keagungan setiap orang, walaupun kita berbeda dalam berbagai hal.
Ketika keselarasan, harmoni, keutuhan, dan pengertian seperti ini menjadi sempurna, tak ada lagi yang perlu diucapkan. Karena pada saat yang sama mencapai puncaknya dalam keheningan.
Jumat, 22 Mei 2009
Jalan Mulia Berunsur Delapan (Hasta Arya Marga)
Jalan Mulia Berunsur Delapan merupakan pegangangan seorang Buddhis dalam keseharian merupakan jalan untuk menyelami kesunyataan tertinggi. Jalan Mulia Berunsur delapan diringkas menjadi tiga aspek kebijaksanaan, moralitas, Samadhi, (Pañña, Sila, samadhi). Penjabaran ini secara teoritis sebagai berikut:
1.Ucapan Benar } Sila (kemoralan)
2.Perbuatan benar
3.Mata pencaharian benar
4.Daya upaya benar } Samadhi (meditasi)
5.Perhatian benar
6.Konsentrasi benar.
7.Pandangan benar } Pañña (kebijaksanaan)
8.Pikiran Benar
Kotbah pertama Sang Buddha yang terkenal dengan ‘Dhamma cakka Pavatana Sutta’ pemutaran Roda Dhamma yang Pertama, yang di sampaikan di Sarnath kepada Lima Pertapa, kita temukan isi utama kotbah, yaitu Empat kesunyataan Mulia (Catur Arya Satyani) yang terdiri dari:
Dukkha : Penderitaan (tidak memuaskan)
Dukkha Samudaya : Sebab Penderitaan
Dukkha Niroda : Lenyapnya Penderitaan
Magga : Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan. Jalan menuju lenyapnya penderitaan ini adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan.
1.1. Kebijaksanaan (Pañña)
1.1.1. Pandangan benar
Dalam konsep diatas, jalan mulia berunsur delapan di bagi menjadi tiga aspek yaitu pañña, Sila, Samadhi. Sebelum di bagi menjadi tiga aspek, secara alami terkelompok menjadi dua bagian yaitu Pandangan benar di sebut sebagai Jalan visi (darsana –marga) dan jalan Transformasi (bhavana-marga) yamg merupakan tujuh unsur lainnya. Pandangan benar mewakili fase kesadaran awal dan pengalaman, sedangkan ketujuh lainnya merupakan fase transformasi seluruh kehidupan seseorang, segala kualitas dan aspeknya, sejalan dengan kesadaran dan pengalaman spiritual tersebut. Hal ini merepresentasikan transformasi yang lengkap dan menyeluruh kehidupan pikiran, perkataan, hubungan dengan orang lain, mata pencahariaan dan seterusnya walaupun tidak perlu berurutan.
Pandangan benar adalah: pengertian terhadap segala fenomena menurut hakekat yang sebenarnya dengan penembusan kedalam empat kesunyataan mulia. Pandangan benar ini dapat muncul dengan cara yang berbeda untuk setiap orang. Misalnya melalui tragedy, kehilangan orang yang dicintai, pengalaman mistis yang spontan, pengalaman kita dengan alam, melihat lukisan yang indah, mendengarkan musik, melalui mimpi dan sebagainya. Dalam kondisi tertentu inilah orang akan mulai melihat lebih dalam, merenungkan akan arti dan tujuan hidup ini.
Bagi mereka para pemikir, filsuf dan orang bijaksana lainnya, mereka meyelami kehidupan berdasarkan akal dan logika, berpikir untuk menembus kesunyataan, kedalam visi Sang Jalan. Dan bagi para meditator pendangan benar ini akan muncul sebagai hasil dari latihan meditasi. Dan mereka-mereka pekerja social akan menemukan pandanagan benar ini saat mereka melakukan aktivitas ditengah-tengah masyarakat, merwat orang sakit, melihat dan merawat orang jompo, walaupun tidak disadari oleh keadaan biasa pandangan benar ini muncul.
Sehingga pandangan benar ini bisa dikatakan sebagai tumpukan pengalaman hidup. Yang terpenting dengan cara apapun pandangan sempurna ini muncul, kita harus waspada dan menjaganya agar tidak hilang dan terlupakan. Kita harus menghargainya, memeliharanya, merenungkannya, mencoba mendalaminya, menyelaminya dan mengembangkannya setiap saat, secra bertahap menyerap dan mentransformasikannya keseluruh hidup dan kehidupan kita.
Jalan visi dan Jalan Transformasi adalah untuk membuat kita mapu untuk membawa seluruh hidup, kehidupan dan keberadaan kita dalam semua tingkatan ke tingkat yang paling tinggi. Inilah yang dimaksud dengan kemajuan batin atau spiritual. Dengan mengikuti Jalan mulia Berunsur delapan akan memperoleh pandangan sempurna dengan cara masing-masing, dan kemudian mengubah seluruh aspek kehidupan kita berdasarkan pendangan tersebut.
Diatas telah disebutkan bahawa, Pandangan benar adalah: pengertian terhadap segala fenomena menurut hakekat yang sebenarnya dengan penembusan kedalam empat kesunyataan mulia. Secara prinsip ada dua cara untuk mengkomonikasikan suatu pandangan, yaitu: melalui Gambaran (image) dan melalui konsep-konsep.
Dalam agama Buddha ada tiga gambaran (image) utama tentang hakikat keberadaan, yaitu: Roda kehidupan, Buddha, dan Sang Jalan.
(a). Roda Kehidupan
Roda kehidupan digambarkan sebagai empat lingkaran konsentris. Lingkaran tengah sebagai poros roda ada tiga binatang yaitu: ayam jantan, ular, babi, yang masing-masing digambarkan sedang ekor didapannya. Binatang-binatang ini menggambarkan tiga racun (kekotoran batin) keserakahan, kebencian, kebodohan, yang menguasai pikiran kita dan memutar roda kehidupan.
Di luar poros ada lingkaran kedua yang terdiri dari dua bagian, hitam dan putih. Bagian putih menunjukkan jalan kenbajikan dan bergerak keatas, yaitu keadaan yang lebih bahagia, sedangkan bagian hitam mewakili jalan kejahatan yang membuat gerakan kebawah, yaitu keadaan yang menyedihkan.
Lingkaran selanjutnya terbagi dalam enam segmen yang menunjuk enam ‘dunia’ atau ruang kehidupan didalamnya, menurut pandangan agama Buddha, hidup makhluk-makhluk yang terus bertumimbal lahir. Enam dunia ini adalah alam para dewa, raksasa, manusia, binatang, setan kelaparan, dan makhluk-mahluk neraka.
Lingkaran paling luar, merupakan bingkai roda, terbagi dalam dua belas segmen. Inilah dua belas nidana atau rantai proses yang biasa disebut”sebab-musaba yang saling bergantungan” paticca Samupada, yang menguraikan secara terperinci keseluhan proses kelahiran, kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali.
Itulah image atau symbol agung pertama. Ini yang pertama-tama kita lihatketika memperoleh pandangan terang tentang hakikat segala yang ada. Kita melihat seluruh keberadaan yang berkondisi, berputar terus seperti sebuah roda yang besar - roda kehidupan, roda kematian - dengan kita bersama-sama dengan seluruh makhluk hidup lain terperangkap di dalamnya. Kita melihat bahwa Roda Kehidupan ini sebenarnya adalah kita, adalah makhluk hidup, adalah segala yang ada dan berkondisi.
(b) Buddha
Buddha digambarkan sedang duduk diatas kelopak bunga teratai atau di bawah sebuah pohon bodhi, pohon pencerahan, dengan cabang-cabangnya yang besar dan dengan kerindangan daun-daunnya yang indah berbentuk hati. Pada saat itu Buddha memancarkan cahaya yang beraneka warna.
Versi lain adalah gambaran tentang mandala lima Buddha. Di pusat mandala (lingkaran) terdapat Buddha berwarna putih, disisi timurnya Buddha berwarna biru tua, disis selatan Buddha berwarna kuning, disisi barat Buddha berwarna merah, disisi utara Buddha berwarna hijau.
Gambaran Buddha versi ‘Sukhawati’ dengan gambar Buddha bersama-sama para Bodhisatva yang menghadirinya, bersama-sama burung-burung bersuara menakjubkan dan keagungan-keagungan lainnya.
(c ) Sang Jalan
Sang jalan dikenal sebagai jalan spiritual atau jalan spiral, menghubungkan dua symbol diatas, sehingga dapat dikatan menjembatani dari Roda Kehidupan sampai kepada Buddha atau ke mandala lima Buddha.
Ketiganya inilah merupakan tiga symbol agung yang dipakai oleh agama Buddha untuk mengkomunikasikan pandangannya tentang keberadaan atau kehidupan.
Pandangan sempurna merupakan sebuah Pandangan pertama atas keadaan actual kita saat ini yang masih diperbudak oleh keberadaan yang berkondisi yang digambarkan oleh roda kehidupan.
Selanjutnya adalah pandangan terhadap potensi keadaan masa depan kita dengan pencapaiaan pencerahan yang tergambar dalam Buddha atau Mandala Lima Buddha.
Dan terakhir merupakan pandangan terhadap cara ajalan yang akan membawa kita dari keadaan pertama kekeadaan berikutnya (pencerahan) suatu pandangan tentang seluruh arah masa depan evolusi uamat manusia.
Tentang hakikat segala sesuatu yang ada atau keberadaannya dapat di komunikasikan melalui konsep-konsep. Secara tradisional dijelaskan istilah ‘melihat’ dan ‘mengerti’ kebenaran suatu konsep tertentu yang dikatagorikan secara doctrinal. Disini disampaikan empat konsep terpenting yaitu:
Empat kesunyataan mulia, tiga corak dari keberadaan yang berkondisi, karma dan punarbhava, dan empat (4) sunyata.
(d). Empat Kebenaran Mulia
Pandangan benar merupakan suatu pandangan, atau pengertian tentang empat Kebenaran Mulia.
(i) Dukkha : Kebenaran tentang Penderitaan (ketidak puasan) yang
kita alami maupun kita lihat.
(ii) Dukkha Samudaya : Kebenaran tentang Sebab Penderitaan, yaitu napsu
keinginan, atau ‘kehausan’ yang ada dalam diri kita
maupun setiap makhluk lain.
(iii) Dukkha Niroda : Kebenaran tentang Lenyapnya Penderitaan secara total
sinonim dengan penceraha atau kebuddhaan.
(iv) Magga : Kebenaran tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan,
yaitu jalan mulia berunsur delapan.
Kebenaran mulia pertama dan kedua, yaitu penderitaan dan sebab penderitaan adalah berhubungan dengan gambaran tentang Roda Kehidupan. Lenyapnya penderitaan berhubungan dengan gambaran tentang Buddha atau Mandala Lima Buddha. Kebenaran keempat yaitu jalan mulia Berunsur Delapan, berhubungan dengan gambaran Tentang Sang Jalan.
(e) Tiga Corak Keberadaan yang berkondisi
tiga corak itu ialah:
(i) bahwa keberadaan yang berkondisi merupakan penderitaan. Ada tiga jenis penderitaan yaitu: (a) penderitaan biasa (sakit dll) (b) Penderitaan potensial (berpisah dengan sesuatu yang dilekati) (c) penderitaan mettafisika, yaitu tidak sesuatupun didunia ini, di dalam segala yang berkondisi, yang dapat memberi kepuasan sepenuhnya kepada hati dan pikiran manusia. Kepuasan yang sesungguhnya dan abadi hanya dapat ditemukan di dalam ‘yang tak berkondisi’ yaitu di dalam kebenaran itu sendiri. Seseorang tidak akan benar-benar bahagia sebelum mencapai pencerahan.
(ii) bahwa keberadaan yang berkondisi tidak kekal, karena mengalami perubauahan. Tidak ada yang tetap sama, bahkan dalam dua detik yang berurutan. Kita menjadi tua setiap saat, dan segala sesuatu di sekeliling kita pun lapuk setiap saat. Pandangan benar berkenaan dengan benda-benda duniawi, yaitu meliaht dengan jelas dan terang bahwa segalany tidak kekal, segalanya berubah, dan bahwa kita tidak dapat bergantung pada apa pun dalam waktu yang lama – setelah beberapa waktu, kita pun harus melepasnya.
(iii) bahwa keberadaan yang berkondisi tidak ada ‘inti’ yang sejati di dalamnya bisa dikatan disini bahwa dalam kita sendiri sebagai sesesuatu yang berkondisi, dapat kita temukan inti yang kekal.
(f) Karma dan Tumimbal lahir
Dalam kitab-kitab Buddhis ddijelaskan, menurut Buddha dan makhluk-makhluk yang telah mencapai pencerahan bahwa sesaat sebelum pencapaian penerangan sempurna mereka melihat dengan mata pikirannya suatu panaroma kelahiran-kelahiran, kematian-kematian, dan kelahiran kembali bukan hanya mereka sendiri tetapi makhluk hidup lain, seluruh makhluk hidup. Dengan mengikuti seluruh proses karma dari satu kehidupan kehidupan lainnya, mereka dapat melihat dengan jelas bagaimana manusia menderita atau menemukan kebahagiaan sebagai konsekuensi dari perbuatan mereka sebelumnya, dan bagaimana mereka terlahir kembali sesuai dengan cara hidup mereka dalam kehidupan – kehidupan sebelumnya.
(g) Empat Sunyata
(i) Samskrta Sunyata atau kekosongan sesuatu yang berkondisi. Bahwa segala sesuatu yang berkondisi, menggejala, dan relatif itu kosong dari karakteristk yang tak berkondisi, dari yang absolut, dari kebenaran. Karakteristik dari yang tak berkondisi adalah: kebahagiaan (sementara), kekalan (sementara), diri sejati, realitas sejati.
Keberadaan yang berkondisi itu kosong dari karakteristik yang tak berkondisi. Sebaliknya yang tak-berkondisi kosong dari penderitaan, ketidakkekalan, dan ketampaintian. Yang berkondisi kosong dari yang tak berkondisi, Samsara kosong dari nirvana. Kita tidak perlu berharap menemukan sesuatu dalam keberadaan dunia yang relatip ini, sesuatu yang tak – berkondisi, yang absolut.
(ii) Asamskrta Sunyata atau kekosongan dari yang tak –berkondisi. Bahwa yang tak berkondisi kosong dari karakteristik yang berkondisi. Di dalam yang tak berkondisi, nirvana, tidak ada penderitaan, tidak ada ketidak kekalan, dan tidak ada yang tidak nyata/sejati, hanya karakteristik sebaliknya yang ada. Inilah kekosongan dari yang tak berkondisi. Di dalam yang berkondisi kita tidak akan menemukan yang tak-berkondisi, begitu pun di dalam yang tak-berkondisi, kita tidak akan menemukan yang berkondisi.
(iii) Maha Sunyata atau kekosongan agung, dimana segala perbedaan, segala dualisme hilang, lenyap, dihapuskan.
(iv) Sunyata Sunyata atau kekosongan dari kekosongan, bahwa kita akan menyadari bahwa kekosongan itu sendiri pun hanya konsep, hanya suatu kata, sebuah bunyi. Disini tidak ada lagi yang dapat dikatakan, yang tersisisa hanya ketenangan – dan tentu saja, ketenangan berarti ‘ ketenangan yang bergema’ Sugimin Hadi Wibowo (bersambung)
1.Ucapan Benar } Sila (kemoralan)
2.Perbuatan benar
3.Mata pencaharian benar
4.Daya upaya benar } Samadhi (meditasi)
5.Perhatian benar
6.Konsentrasi benar.
7.Pandangan benar } Pañña (kebijaksanaan)
8.Pikiran Benar
Kotbah pertama Sang Buddha yang terkenal dengan ‘Dhamma cakka Pavatana Sutta’ pemutaran Roda Dhamma yang Pertama, yang di sampaikan di Sarnath kepada Lima Pertapa, kita temukan isi utama kotbah, yaitu Empat kesunyataan Mulia (Catur Arya Satyani) yang terdiri dari:
Dukkha : Penderitaan (tidak memuaskan)
Dukkha Samudaya : Sebab Penderitaan
Dukkha Niroda : Lenyapnya Penderitaan
Magga : Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan. Jalan menuju lenyapnya penderitaan ini adalah Jalan Mulia Berunsur Delapan.
1.1. Kebijaksanaan (Pañña)
1.1.1. Pandangan benar
Dalam konsep diatas, jalan mulia berunsur delapan di bagi menjadi tiga aspek yaitu pañña, Sila, Samadhi. Sebelum di bagi menjadi tiga aspek, secara alami terkelompok menjadi dua bagian yaitu Pandangan benar di sebut sebagai Jalan visi (darsana –marga) dan jalan Transformasi (bhavana-marga) yamg merupakan tujuh unsur lainnya. Pandangan benar mewakili fase kesadaran awal dan pengalaman, sedangkan ketujuh lainnya merupakan fase transformasi seluruh kehidupan seseorang, segala kualitas dan aspeknya, sejalan dengan kesadaran dan pengalaman spiritual tersebut. Hal ini merepresentasikan transformasi yang lengkap dan menyeluruh kehidupan pikiran, perkataan, hubungan dengan orang lain, mata pencahariaan dan seterusnya walaupun tidak perlu berurutan.
Pandangan benar adalah: pengertian terhadap segala fenomena menurut hakekat yang sebenarnya dengan penembusan kedalam empat kesunyataan mulia. Pandangan benar ini dapat muncul dengan cara yang berbeda untuk setiap orang. Misalnya melalui tragedy, kehilangan orang yang dicintai, pengalaman mistis yang spontan, pengalaman kita dengan alam, melihat lukisan yang indah, mendengarkan musik, melalui mimpi dan sebagainya. Dalam kondisi tertentu inilah orang akan mulai melihat lebih dalam, merenungkan akan arti dan tujuan hidup ini.
Bagi mereka para pemikir, filsuf dan orang bijaksana lainnya, mereka meyelami kehidupan berdasarkan akal dan logika, berpikir untuk menembus kesunyataan, kedalam visi Sang Jalan. Dan bagi para meditator pendangan benar ini akan muncul sebagai hasil dari latihan meditasi. Dan mereka-mereka pekerja social akan menemukan pandanagan benar ini saat mereka melakukan aktivitas ditengah-tengah masyarakat, merwat orang sakit, melihat dan merawat orang jompo, walaupun tidak disadari oleh keadaan biasa pandangan benar ini muncul.
Sehingga pandangan benar ini bisa dikatakan sebagai tumpukan pengalaman hidup. Yang terpenting dengan cara apapun pandangan sempurna ini muncul, kita harus waspada dan menjaganya agar tidak hilang dan terlupakan. Kita harus menghargainya, memeliharanya, merenungkannya, mencoba mendalaminya, menyelaminya dan mengembangkannya setiap saat, secra bertahap menyerap dan mentransformasikannya keseluruh hidup dan kehidupan kita.
Jalan visi dan Jalan Transformasi adalah untuk membuat kita mapu untuk membawa seluruh hidup, kehidupan dan keberadaan kita dalam semua tingkatan ke tingkat yang paling tinggi. Inilah yang dimaksud dengan kemajuan batin atau spiritual. Dengan mengikuti Jalan mulia Berunsur delapan akan memperoleh pandangan sempurna dengan cara masing-masing, dan kemudian mengubah seluruh aspek kehidupan kita berdasarkan pendangan tersebut.
Diatas telah disebutkan bahawa, Pandangan benar adalah: pengertian terhadap segala fenomena menurut hakekat yang sebenarnya dengan penembusan kedalam empat kesunyataan mulia. Secara prinsip ada dua cara untuk mengkomonikasikan suatu pandangan, yaitu: melalui Gambaran (image) dan melalui konsep-konsep.
Dalam agama Buddha ada tiga gambaran (image) utama tentang hakikat keberadaan, yaitu: Roda kehidupan, Buddha, dan Sang Jalan.
(a). Roda Kehidupan
Roda kehidupan digambarkan sebagai empat lingkaran konsentris. Lingkaran tengah sebagai poros roda ada tiga binatang yaitu: ayam jantan, ular, babi, yang masing-masing digambarkan sedang ekor didapannya. Binatang-binatang ini menggambarkan tiga racun (kekotoran batin) keserakahan, kebencian, kebodohan, yang menguasai pikiran kita dan memutar roda kehidupan.
Di luar poros ada lingkaran kedua yang terdiri dari dua bagian, hitam dan putih. Bagian putih menunjukkan jalan kenbajikan dan bergerak keatas, yaitu keadaan yang lebih bahagia, sedangkan bagian hitam mewakili jalan kejahatan yang membuat gerakan kebawah, yaitu keadaan yang menyedihkan.
Lingkaran selanjutnya terbagi dalam enam segmen yang menunjuk enam ‘dunia’ atau ruang kehidupan didalamnya, menurut pandangan agama Buddha, hidup makhluk-makhluk yang terus bertumimbal lahir. Enam dunia ini adalah alam para dewa, raksasa, manusia, binatang, setan kelaparan, dan makhluk-mahluk neraka.
Lingkaran paling luar, merupakan bingkai roda, terbagi dalam dua belas segmen. Inilah dua belas nidana atau rantai proses yang biasa disebut”sebab-musaba yang saling bergantungan” paticca Samupada, yang menguraikan secara terperinci keseluhan proses kelahiran, kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali.
Itulah image atau symbol agung pertama. Ini yang pertama-tama kita lihatketika memperoleh pandangan terang tentang hakikat segala yang ada. Kita melihat seluruh keberadaan yang berkondisi, berputar terus seperti sebuah roda yang besar - roda kehidupan, roda kematian - dengan kita bersama-sama dengan seluruh makhluk hidup lain terperangkap di dalamnya. Kita melihat bahwa Roda Kehidupan ini sebenarnya adalah kita, adalah makhluk hidup, adalah segala yang ada dan berkondisi.
(b) Buddha
Buddha digambarkan sedang duduk diatas kelopak bunga teratai atau di bawah sebuah pohon bodhi, pohon pencerahan, dengan cabang-cabangnya yang besar dan dengan kerindangan daun-daunnya yang indah berbentuk hati. Pada saat itu Buddha memancarkan cahaya yang beraneka warna.
Versi lain adalah gambaran tentang mandala lima Buddha. Di pusat mandala (lingkaran) terdapat Buddha berwarna putih, disisi timurnya Buddha berwarna biru tua, disis selatan Buddha berwarna kuning, disisi barat Buddha berwarna merah, disisi utara Buddha berwarna hijau.
Gambaran Buddha versi ‘Sukhawati’ dengan gambar Buddha bersama-sama para Bodhisatva yang menghadirinya, bersama-sama burung-burung bersuara menakjubkan dan keagungan-keagungan lainnya.
(c ) Sang Jalan
Sang jalan dikenal sebagai jalan spiritual atau jalan spiral, menghubungkan dua symbol diatas, sehingga dapat dikatan menjembatani dari Roda Kehidupan sampai kepada Buddha atau ke mandala lima Buddha.
Ketiganya inilah merupakan tiga symbol agung yang dipakai oleh agama Buddha untuk mengkomunikasikan pandangannya tentang keberadaan atau kehidupan.
Pandangan sempurna merupakan sebuah Pandangan pertama atas keadaan actual kita saat ini yang masih diperbudak oleh keberadaan yang berkondisi yang digambarkan oleh roda kehidupan.
Selanjutnya adalah pandangan terhadap potensi keadaan masa depan kita dengan pencapaiaan pencerahan yang tergambar dalam Buddha atau Mandala Lima Buddha.
Dan terakhir merupakan pandangan terhadap cara ajalan yang akan membawa kita dari keadaan pertama kekeadaan berikutnya (pencerahan) suatu pandangan tentang seluruh arah masa depan evolusi uamat manusia.
Tentang hakikat segala sesuatu yang ada atau keberadaannya dapat di komunikasikan melalui konsep-konsep. Secara tradisional dijelaskan istilah ‘melihat’ dan ‘mengerti’ kebenaran suatu konsep tertentu yang dikatagorikan secara doctrinal. Disini disampaikan empat konsep terpenting yaitu:
Empat kesunyataan mulia, tiga corak dari keberadaan yang berkondisi, karma dan punarbhava, dan empat (4) sunyata.
(d). Empat Kebenaran Mulia
Pandangan benar merupakan suatu pandangan, atau pengertian tentang empat Kebenaran Mulia.
(i) Dukkha : Kebenaran tentang Penderitaan (ketidak puasan) yang
kita alami maupun kita lihat.
(ii) Dukkha Samudaya : Kebenaran tentang Sebab Penderitaan, yaitu napsu
keinginan, atau ‘kehausan’ yang ada dalam diri kita
maupun setiap makhluk lain.
(iii) Dukkha Niroda : Kebenaran tentang Lenyapnya Penderitaan secara total
sinonim dengan penceraha atau kebuddhaan.
(iv) Magga : Kebenaran tentang Jalan Menuju Lenyapnya Penderitaan,
yaitu jalan mulia berunsur delapan.
Kebenaran mulia pertama dan kedua, yaitu penderitaan dan sebab penderitaan adalah berhubungan dengan gambaran tentang Roda Kehidupan. Lenyapnya penderitaan berhubungan dengan gambaran tentang Buddha atau Mandala Lima Buddha. Kebenaran keempat yaitu jalan mulia Berunsur Delapan, berhubungan dengan gambaran Tentang Sang Jalan.
(e) Tiga Corak Keberadaan yang berkondisi
tiga corak itu ialah:
(i) bahwa keberadaan yang berkondisi merupakan penderitaan. Ada tiga jenis penderitaan yaitu: (a) penderitaan biasa (sakit dll) (b) Penderitaan potensial (berpisah dengan sesuatu yang dilekati) (c) penderitaan mettafisika, yaitu tidak sesuatupun didunia ini, di dalam segala yang berkondisi, yang dapat memberi kepuasan sepenuhnya kepada hati dan pikiran manusia. Kepuasan yang sesungguhnya dan abadi hanya dapat ditemukan di dalam ‘yang tak berkondisi’ yaitu di dalam kebenaran itu sendiri. Seseorang tidak akan benar-benar bahagia sebelum mencapai pencerahan.
(ii) bahwa keberadaan yang berkondisi tidak kekal, karena mengalami perubauahan. Tidak ada yang tetap sama, bahkan dalam dua detik yang berurutan. Kita menjadi tua setiap saat, dan segala sesuatu di sekeliling kita pun lapuk setiap saat. Pandangan benar berkenaan dengan benda-benda duniawi, yaitu meliaht dengan jelas dan terang bahwa segalany tidak kekal, segalanya berubah, dan bahwa kita tidak dapat bergantung pada apa pun dalam waktu yang lama – setelah beberapa waktu, kita pun harus melepasnya.
(iii) bahwa keberadaan yang berkondisi tidak ada ‘inti’ yang sejati di dalamnya bisa dikatan disini bahwa dalam kita sendiri sebagai sesesuatu yang berkondisi, dapat kita temukan inti yang kekal.
(f) Karma dan Tumimbal lahir
Dalam kitab-kitab Buddhis ddijelaskan, menurut Buddha dan makhluk-makhluk yang telah mencapai pencerahan bahwa sesaat sebelum pencapaian penerangan sempurna mereka melihat dengan mata pikirannya suatu panaroma kelahiran-kelahiran, kematian-kematian, dan kelahiran kembali bukan hanya mereka sendiri tetapi makhluk hidup lain, seluruh makhluk hidup. Dengan mengikuti seluruh proses karma dari satu kehidupan kehidupan lainnya, mereka dapat melihat dengan jelas bagaimana manusia menderita atau menemukan kebahagiaan sebagai konsekuensi dari perbuatan mereka sebelumnya, dan bagaimana mereka terlahir kembali sesuai dengan cara hidup mereka dalam kehidupan – kehidupan sebelumnya.
(g) Empat Sunyata
(i) Samskrta Sunyata atau kekosongan sesuatu yang berkondisi. Bahwa segala sesuatu yang berkondisi, menggejala, dan relatif itu kosong dari karakteristk yang tak berkondisi, dari yang absolut, dari kebenaran. Karakteristik dari yang tak berkondisi adalah: kebahagiaan (sementara), kekalan (sementara), diri sejati, realitas sejati.
Keberadaan yang berkondisi itu kosong dari karakteristik yang tak berkondisi. Sebaliknya yang tak-berkondisi kosong dari penderitaan, ketidakkekalan, dan ketampaintian. Yang berkondisi kosong dari yang tak berkondisi, Samsara kosong dari nirvana. Kita tidak perlu berharap menemukan sesuatu dalam keberadaan dunia yang relatip ini, sesuatu yang tak – berkondisi, yang absolut.
(ii) Asamskrta Sunyata atau kekosongan dari yang tak –berkondisi. Bahwa yang tak berkondisi kosong dari karakteristik yang berkondisi. Di dalam yang tak berkondisi, nirvana, tidak ada penderitaan, tidak ada ketidak kekalan, dan tidak ada yang tidak nyata/sejati, hanya karakteristik sebaliknya yang ada. Inilah kekosongan dari yang tak berkondisi. Di dalam yang berkondisi kita tidak akan menemukan yang tak-berkondisi, begitu pun di dalam yang tak-berkondisi, kita tidak akan menemukan yang berkondisi.
(iii) Maha Sunyata atau kekosongan agung, dimana segala perbedaan, segala dualisme hilang, lenyap, dihapuskan.
(iv) Sunyata Sunyata atau kekosongan dari kekosongan, bahwa kita akan menyadari bahwa kekosongan itu sendiri pun hanya konsep, hanya suatu kata, sebuah bunyi. Disini tidak ada lagi yang dapat dikatakan, yang tersisisa hanya ketenangan – dan tentu saja, ketenangan berarti ‘ ketenangan yang bergema’ Sugimin Hadi Wibowo (bersambung)
Kamis, 21 Mei 2009
Sekolah Minggu Buddhis (SMB)
Sekolah Minggu Buddhis (SMB) di Denpasar dan Badung.
1. SMB Vihara Buddha Sakyamuni Denpasar
Jl. Gunung Agung Linkungan Padang Udayana
Denpasar
2. SMB Vihara Asokarama
Jl. Buluh Indah Nuansa Indah Selatan
Denpasar
3. SMB Vihara Buddha Dharma
Jl. Sunset Road No. 99 x Kuta- Badung
4. SMB T.I.TD Cau Fuk Miao Denpasar
Jl. Cargo Permai 9/II Denpasar
Materi Kegitan SMB Cau Fuk Miao
1. Pendidikan Agama Buddha
2. Bahasa Mandarin
3. Seni Tari
jadwal Kegiatan:
Minggu, pukul. 09.00- selesai
Les Bahasa Inggris bagi Guru Agama Buddha
Sabtu-Minggu Pukul 17.00 wita-19.00 wita
1. SMB Vihara Buddha Sakyamuni Denpasar
Jl. Gunung Agung Linkungan Padang Udayana
Denpasar
2. SMB Vihara Asokarama
Jl. Buluh Indah Nuansa Indah Selatan
Denpasar
3. SMB Vihara Buddha Dharma
Jl. Sunset Road No. 99 x Kuta- Badung
4. SMB T.I.TD Cau Fuk Miao Denpasar
Jl. Cargo Permai 9/II Denpasar
Materi Kegitan SMB Cau Fuk Miao
1. Pendidikan Agama Buddha
2. Bahasa Mandarin
3. Seni Tari
jadwal Kegiatan:
Minggu, pukul. 09.00- selesai
Les Bahasa Inggris bagi Guru Agama Buddha
Sabtu-Minggu Pukul 17.00 wita-19.00 wita
Label: Sekolah Minggu Buddhis
Pikiran
Pembimas Buddha
Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Bali
Acara Pembukaaan Pabajja Samanera
di Vihara Buddha Dharma.
Pikiran mendahului semua kondisi batin, pikiran adalah pemimpin, segalanya diciptakan oleh pikiran. Apabila dengan pikiran yang bersih/suci seseorang berbicara atau berbuat dengan jasmani, maka kebahagiaan akan mengikuti si pelaku karenanya, seperti bayangan yang tidak pernah meninggalkan tubuh seseorang. (Dhammapada 1:2)
Rabu, 20 Mei 2009
Pancasila Buddhis
Dalam kehidupan sehari-hari umat Buddha melakukan aktivitas tentunya menemukan beragam masalah dan sesuatu hal yang kadang membuatnya menambah bahagia. Namun kadang menambah penderitaan.Agar kehidupan manusia terarah maka perlu adanya pegangan keyakinan yang kuat dan kontrol diri. Sehingga setiap melangkah ada garis pembatas mana yang baik dilakukan dan mana yang tidak baik.
Secara umum manusia mengenal etika kemoralan atau tata krama dalam pergaulan hidup. Didalam agama Buddha dikenal dengan latihan kemoralan untuk para upasaka/ upasika yang berjumlah lima sila yang disebut pancasila. Lima sila ini di kenal sebagai prinsip dasar agama Buddha. Merupakan hal yang biasa bagi umat Buddha untuk mengucapkan sila ini pada saat puja bhakti. Setiap umat Buddha hendaknya menyadari pentingnya sila, dan apa yang mereka pikirkan tentang sila.
Dalam agama Buddha, dasar utama dalam pelaksanaan Dhamma, yang mencakup semua perilaku dan sifat-sifat baik. Sila artinya kemoralan. Perilaku bermoral adalah perilaku yang sesuai dengan sila. Perilaku setiap manusia merupakan cerminan dari yang ditaatinya. Perilaku manusia dapat memperlihatkan diri manusia dalam tiga saluran yaitu: Pikiran, ucapan dan perbuatan jasmani. Perilaku yang dimaksud kadang baik (kusala) dan kadang buruk (akusala).
Perilaku manusia yang baik yang muncul melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan jasmani yang disebut sepuluh perilaku baik yaitu:
Melalui Pikiran:
1.abhijjha veramani (menghindari tamak, dan irihati)
2.Byapada veramani( menghindari itikat jahat)
3.Micchaditi veramani ( menghindari pandangan salah)
Melalui Ucapan:
4.Musavada Veramani ( menghindari kebohongan)
5.pisunavaca veramani (menghindari melakukan fitnah)
6.pharusavaca veramani (menghindari berkata kasar)
7.samphapalapa veramani (menghindari pembicaraan yang tidak berguna)
melalui Jasmani:
8.Panatipata veramani (menghindari pembunuhan)
9.adinadana veramani (menghindari pencurian)
10.abrahmacariya veramani (menghindari hubungan kelamin)
perilaku diatas merupakan bagian dari tingkatan seseorang untuk mencapai perkembangan yang lebih tinggi.
Sila adalah keadaan yang dimulai dengan adanya kehendak pada seseorang yang pantang membunuh makhluk hidup, dst. Sila juga berarti kemoralan. Latihan sila bagi upasaka/ upasika disebut Pancasila, yang artinya lima aturan kemoralan. Pancasila merupaka suatu sikkhapada atau peraturan-pelatihan yang diberikan oleh Bhikkhu kepada upasaka/ upasika. Pancasila diberikan oleh Bhikkhu pada saat permohonan tuntunan tisarana pancasila yaitu:
1.Pannatipata veramani sikkhapadam sammadiyami
2.Adinadana veramani sikkhapadam sammadiyami
3.Kamesumicaccara veramani sikkhapadam sammadiyami
4.Musavada veramani sikkhapadam sammadiyami
5.Surameraya veramani sikkhapadam sammadiyami.
Lima sila diatas menunjukan sikap batin, penghindaran, dan pengendalian diri.
Umat awam seharusnya mempertahankan lima sila tersebut. Apa bila dilaksanakan akan membawa berkah dalam kehidupan ini maupun hidup selanjutnaya.
Dalam kelompok lima penggolongan Dhamma lima sila bagi umat awam harus dipertahankan. Kemudian pancasila merupakan bagian yang penting dalam kehidupan umat Buddha. Pada setiap puja bhakti pancasila ini selalu diulang untuk dibacakan.
Sila pertama kali diajarkan Sang Buddha kepada lima orang pertapa, pada bagian delapan jalan utama. Kelompok sila terddiri dari: ucapan benar, perbuatan benar, dan mata pencaharian benar. Ukuran manusia susila adalah apabila seseorang mampu berkata, berbuat, dan memiliki mata pencaharian benar.
Sila merupakan langkah pertama yang sangat penting didalam menjalankan ajaran Sang Buddha. Karena dengan sila yang sempurna sesorang akan mudah mengendalikan pikirannya.
Dalam samyuta nikaya V (143) Sang Buddha bersabda:
“ Apakah permulaan dari batin yang luhur? Sila yang sempurna kesuciannya.” Sedangkan dalam Brahmajala Sutta disebutkan bhawa seorang samana harus sempurna terlatih dalam sila.
Sila mrupakan keluhuran moral. Keluhuran moral berarti apa yang agung dan baik. Keluhuran ini merupakan sifat yang memberiakan rasa aman dan stabilitas kepada dunia. Keluhuran moral merupakan salah satu gizi tertinggi untuk hati. Keluhuran moral merupakan aspek penalaran yang menjamin benarnya perilaku kita. Suatu sifat yang dijunjung tinggi oleh makhluk-makhluk dunia. Tak ada seorang pun yang mengkritiknya, karena keluhuran berada di luar kritik. Begitulah keluhuran moral, atau prinsip penalaran.
Pembagian sila.
Pancasila berdasarkan jumlahnya, bobot, dan beban latihannya merupakan bagian dari culasila. Cula sila adalah sila yang paling sedikit jumlah peraturannya, yaitu: lima sila.
Manfaat melaksanakan Pancasila
Menghindari Pembunuhan makhluk hidup akan terlahir dengan kondisi jasmani sehat. Akan lebih lengkap apabila dibarengi dengan pengembangan Metta (cintakasih) dan karuna (kasih sayang). Disamping menghindari proaktip untuk melindungi.
Menghindari mengambil barang yang tidak diberikan merupakan suatu bentuk penghindaran terhadap keserakahan dan melatih kesabaran dengan cara menahan diri tidak memanfaatkan sesutau yang bukan miliknya. Selebihnya sila ini apa bila dilaksanakan akan membuat lebih menghargai apa yang dimilikinya.
Sila ketiga bermanfaat untuk menciptakan tanggung jawab untuk menjaga kehormatan keluarga, menjaga kehormatan diri sendiri, tempat tinggal dan milik sendiri.
Sila keempat bermanfaat untuk memperteguh kebenaran dan menghindari pelanggaran lisan yang bisa menimbulkan perpecahan.
Sila kelima bermanfaat untuk menjaga agar jasmani terlindungi dari bahaya yang membuat kerusakan. Menjaga ketenangan pikiran dan secara ekonomis tidak menghamburkan uang dengan perbuatan yang tidak bermanfaat dan waktu yang merugikan.
Pelaksanaan sila diawali dari diri sendiri, kemudian di kembangkan kepada keluarga. Keluarga yang memiliki keluhuran moral sebagai pembimbing dan pelindungnya akan aman. Anggota keluarganya dapat berbicara satu sama lainnya. Mereka tidak keras kepala atau semaunya sendiri. Sebaliknya mereka mau mendengarkan pendapat yang lain demi kelancaran dan kemajuan pekerjaan serta aspek-aspek kehidupan mereka lainnya. Sekalipun hanya sila, jika dipegang teguh, kedamaian keluarga akan terjaga. Lima sila itu bagaikan payung yang melindungi harta berharga kita, yaitu hati anggota keluarga, terutama suami dan istri, untuk menjaga agar mereka tidak dihancurkan atau dirusak oleh kekuatan nafsu yang tidak terbatas.
Sila yang telah kita ucapkan setiap saat dalam puja bhakti bukanlah janji kita terhadap makhluk adi kodrati atau kepada Buddha dan Bodhisatva. Namun sila itu kita ucapkan untuk mengingatkan kepada diri kita sendiri bahwa kita telah mengambil latihan sila untuk kontrol diri agar tetap disiplin dalam kondisi apapun.
Seseorang akan memperoleh kekuatan dengan menjalankan sila. Mereka akan merealisasi banyak manfaat seperti yang diajarkan oleh para Bhikkhu. Dengan melaksanakan sila seseorang akan memperoleh; jalan yang benar, kekayaan, bebas dari penyakit dan kesedihan. Hal yang sangat patut untuk dipuji bila seseorang berusaha untuk memurnikan sila-nya untuk mencapai kesempurnaan hidupnya. (Sugimin Hadi Wibowo)
tautan:
busga.blogspot.com/
Daftar Kepustakaan:
Patriarch Prince Vajrananavarorasa, Late Supreme, H.R.H. alih bahasa Jeto, Bhikkhu, 1980, Navakovada. Jakarta. Yayasan Dhamma Dipa Arama.
Patria Surabaya, Tim DPC, 2001, Apa Yang Sang Buddha Ajarkan? Surabaya.DPC Patria Surabaya.
Rashid, Teja. SM. 1997, Sila Dan Vinaya. Jakarta. Penerbit Buddhis Bodhi.
Sanjivaputta, Jan, 1990, Anda Herbivora atau Karnivora Lembaga Pelestari Dhamma
Sanjivaputta, Jan, 1990, Manggala Berkah Utama Lembaga Pelestari Dhamma
Wowor, Cornelis, MA. 1999, Hukum Kamma Buddhis Jakarta. Rora Karya
Widyadharma, Sumedha MP. 1994 Dhamma Sari Jakarta. Yayasan Pendidikan Buddhis Nalanda,
Secara umum manusia mengenal etika kemoralan atau tata krama dalam pergaulan hidup. Didalam agama Buddha dikenal dengan latihan kemoralan untuk para upasaka/ upasika yang berjumlah lima sila yang disebut pancasila. Lima sila ini di kenal sebagai prinsip dasar agama Buddha. Merupakan hal yang biasa bagi umat Buddha untuk mengucapkan sila ini pada saat puja bhakti. Setiap umat Buddha hendaknya menyadari pentingnya sila, dan apa yang mereka pikirkan tentang sila.
Dalam agama Buddha, dasar utama dalam pelaksanaan Dhamma, yang mencakup semua perilaku dan sifat-sifat baik. Sila artinya kemoralan. Perilaku bermoral adalah perilaku yang sesuai dengan sila. Perilaku setiap manusia merupakan cerminan dari yang ditaatinya. Perilaku manusia dapat memperlihatkan diri manusia dalam tiga saluran yaitu: Pikiran, ucapan dan perbuatan jasmani. Perilaku yang dimaksud kadang baik (kusala) dan kadang buruk (akusala).
Perilaku manusia yang baik yang muncul melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan jasmani yang disebut sepuluh perilaku baik yaitu:
Melalui Pikiran:
1.abhijjha veramani (menghindari tamak, dan irihati)
2.Byapada veramani( menghindari itikat jahat)
3.Micchaditi veramani ( menghindari pandangan salah)
Melalui Ucapan:
4.Musavada Veramani ( menghindari kebohongan)
5.pisunavaca veramani (menghindari melakukan fitnah)
6.pharusavaca veramani (menghindari berkata kasar)
7.samphapalapa veramani (menghindari pembicaraan yang tidak berguna)
melalui Jasmani:
8.Panatipata veramani (menghindari pembunuhan)
9.adinadana veramani (menghindari pencurian)
10.abrahmacariya veramani (menghindari hubungan kelamin)
perilaku diatas merupakan bagian dari tingkatan seseorang untuk mencapai perkembangan yang lebih tinggi.
Sila adalah keadaan yang dimulai dengan adanya kehendak pada seseorang yang pantang membunuh makhluk hidup, dst. Sila juga berarti kemoralan. Latihan sila bagi upasaka/ upasika disebut Pancasila, yang artinya lima aturan kemoralan. Pancasila merupaka suatu sikkhapada atau peraturan-pelatihan yang diberikan oleh Bhikkhu kepada upasaka/ upasika. Pancasila diberikan oleh Bhikkhu pada saat permohonan tuntunan tisarana pancasila yaitu:
1.Pannatipata veramani sikkhapadam sammadiyami
2.Adinadana veramani sikkhapadam sammadiyami
3.Kamesumicaccara veramani sikkhapadam sammadiyami
4.Musavada veramani sikkhapadam sammadiyami
5.Surameraya veramani sikkhapadam sammadiyami.
Lima sila diatas menunjukan sikap batin, penghindaran, dan pengendalian diri.
Umat awam seharusnya mempertahankan lima sila tersebut. Apa bila dilaksanakan akan membawa berkah dalam kehidupan ini maupun hidup selanjutnaya.
Dalam kelompok lima penggolongan Dhamma lima sila bagi umat awam harus dipertahankan. Kemudian pancasila merupakan bagian yang penting dalam kehidupan umat Buddha. Pada setiap puja bhakti pancasila ini selalu diulang untuk dibacakan.
Sila pertama kali diajarkan Sang Buddha kepada lima orang pertapa, pada bagian delapan jalan utama. Kelompok sila terddiri dari: ucapan benar, perbuatan benar, dan mata pencaharian benar. Ukuran manusia susila adalah apabila seseorang mampu berkata, berbuat, dan memiliki mata pencaharian benar.
Sila merupakan langkah pertama yang sangat penting didalam menjalankan ajaran Sang Buddha. Karena dengan sila yang sempurna sesorang akan mudah mengendalikan pikirannya.
Dalam samyuta nikaya V (143) Sang Buddha bersabda:
“ Apakah permulaan dari batin yang luhur? Sila yang sempurna kesuciannya.” Sedangkan dalam Brahmajala Sutta disebutkan bhawa seorang samana harus sempurna terlatih dalam sila.
Sila mrupakan keluhuran moral. Keluhuran moral berarti apa yang agung dan baik. Keluhuran ini merupakan sifat yang memberiakan rasa aman dan stabilitas kepada dunia. Keluhuran moral merupakan salah satu gizi tertinggi untuk hati. Keluhuran moral merupakan aspek penalaran yang menjamin benarnya perilaku kita. Suatu sifat yang dijunjung tinggi oleh makhluk-makhluk dunia. Tak ada seorang pun yang mengkritiknya, karena keluhuran berada di luar kritik. Begitulah keluhuran moral, atau prinsip penalaran.
Pembagian sila.
Pancasila berdasarkan jumlahnya, bobot, dan beban latihannya merupakan bagian dari culasila. Cula sila adalah sila yang paling sedikit jumlah peraturannya, yaitu: lima sila.
Manfaat melaksanakan Pancasila
Menghindari Pembunuhan makhluk hidup akan terlahir dengan kondisi jasmani sehat. Akan lebih lengkap apabila dibarengi dengan pengembangan Metta (cintakasih) dan karuna (kasih sayang). Disamping menghindari proaktip untuk melindungi.
Menghindari mengambil barang yang tidak diberikan merupakan suatu bentuk penghindaran terhadap keserakahan dan melatih kesabaran dengan cara menahan diri tidak memanfaatkan sesutau yang bukan miliknya. Selebihnya sila ini apa bila dilaksanakan akan membuat lebih menghargai apa yang dimilikinya.
Sila ketiga bermanfaat untuk menciptakan tanggung jawab untuk menjaga kehormatan keluarga, menjaga kehormatan diri sendiri, tempat tinggal dan milik sendiri.
Sila keempat bermanfaat untuk memperteguh kebenaran dan menghindari pelanggaran lisan yang bisa menimbulkan perpecahan.
Sila kelima bermanfaat untuk menjaga agar jasmani terlindungi dari bahaya yang membuat kerusakan. Menjaga ketenangan pikiran dan secara ekonomis tidak menghamburkan uang dengan perbuatan yang tidak bermanfaat dan waktu yang merugikan.
Pelaksanaan sila diawali dari diri sendiri, kemudian di kembangkan kepada keluarga. Keluarga yang memiliki keluhuran moral sebagai pembimbing dan pelindungnya akan aman. Anggota keluarganya dapat berbicara satu sama lainnya. Mereka tidak keras kepala atau semaunya sendiri. Sebaliknya mereka mau mendengarkan pendapat yang lain demi kelancaran dan kemajuan pekerjaan serta aspek-aspek kehidupan mereka lainnya. Sekalipun hanya sila, jika dipegang teguh, kedamaian keluarga akan terjaga. Lima sila itu bagaikan payung yang melindungi harta berharga kita, yaitu hati anggota keluarga, terutama suami dan istri, untuk menjaga agar mereka tidak dihancurkan atau dirusak oleh kekuatan nafsu yang tidak terbatas.
Sila yang telah kita ucapkan setiap saat dalam puja bhakti bukanlah janji kita terhadap makhluk adi kodrati atau kepada Buddha dan Bodhisatva. Namun sila itu kita ucapkan untuk mengingatkan kepada diri kita sendiri bahwa kita telah mengambil latihan sila untuk kontrol diri agar tetap disiplin dalam kondisi apapun.
Seseorang akan memperoleh kekuatan dengan menjalankan sila. Mereka akan merealisasi banyak manfaat seperti yang diajarkan oleh para Bhikkhu. Dengan melaksanakan sila seseorang akan memperoleh; jalan yang benar, kekayaan, bebas dari penyakit dan kesedihan. Hal yang sangat patut untuk dipuji bila seseorang berusaha untuk memurnikan sila-nya untuk mencapai kesempurnaan hidupnya. (Sugimin Hadi Wibowo)
tautan:
busga.blogspot.com/
Daftar Kepustakaan:
Patriarch Prince Vajrananavarorasa, Late Supreme, H.R.H. alih bahasa Jeto, Bhikkhu, 1980, Navakovada. Jakarta. Yayasan Dhamma Dipa Arama.
Patria Surabaya, Tim DPC, 2001, Apa Yang Sang Buddha Ajarkan? Surabaya.DPC Patria Surabaya.
Rashid, Teja. SM. 1997, Sila Dan Vinaya. Jakarta. Penerbit Buddhis Bodhi.
Sanjivaputta, Jan, 1990, Anda Herbivora atau Karnivora Lembaga Pelestari Dhamma
Sanjivaputta, Jan, 1990, Manggala Berkah Utama Lembaga Pelestari Dhamma
Wowor, Cornelis, MA. 1999, Hukum Kamma Buddhis Jakarta. Rora Karya
Widyadharma, Sumedha MP. 1994 Dhamma Sari Jakarta. Yayasan Pendidikan Buddhis Nalanda,
Senin, 18 Mei 2009
Sekretariat
Lembaga pembinaan Keagamaan Buddha (LPKB) Denpasar, berdiri tanggal 11 September 2008. alamat Sekretariat Jl. Nangka Denpasar dengan pusat kegiatan di T.ITD Cau Fuk miao Denpasar.
Sabtu, 16 Mei 2009
KEGIATAN LPKB
INFO
kegiatan tersebut secara subtansi memang tidak memuat ajaran-ajaran agama Budha. Namun karena di pandang sangat penting untuk menguasai teks-teks dalam bahasa Inggris maupun mandarin, maka kegiatan tersebut diadakan.
Kegiatan LPKB Denpasar yang telah berjalan adalah Peningkatan Kemampuan berbahasa Inggris dan mandarin bagi Guru Agama Buddha. kegiatan tersebut terbagi dalam semester pertama Bahasa Inggris dan semester ke dua Bahasa Mandarin. Bagi Guru agama Buddha yang tinggal di Wilayah, Denpasar, Badung, Tabanan, yang berminat dapat mengikuti kegiatan tersebut.
kegiatan tersebut secara subtansi memang tidak memuat ajaran-ajaran agama Budha. Namun karena di pandang sangat penting untuk menguasai teks-teks dalam bahasa Inggris maupun mandarin, maka kegiatan tersebut diadakan.